Peran Internasional dalam Membela Hak Asasi Manusia untuk Masyarakat Uyghur

Komentar oleh Dara Laras Santi

ARJUNA Research
6 min readAug 15, 2021

Sebanyak 12 juta masyarakat Uyghur tinggal di bagian barat laut Tiongkok, Daerah Otonomi Xinjiang Uyghur (XUAR). Masyarakat ini adalah suku etnis asli Xinjiang dan minoritas muslim yang hanya berjumlah kurang dari setengah populasi XUAR. Sedangkan suku asli Tiongkok, Han Chinese yang berjumlah 90% dari total populasi negara Tiongkok telah bermigrasi ke dalam daerah-daerah suku minoritas seperti XUAR dalam beberapa dekade terakhir. Oleh karenanya, masyarakat Uyghur merasa budaya dan penghidupan di daerah tersebut terancam. Sejak tahun 2015, narasi mulai bermunculan tentang masyarakat Uyghur yang berjumlah lebih dari satu juta orang yang telah ditahan di re-education camps yang dijalankan sebagai penjara dengan keamanan dan disiplin yang tinggi dan hukuman yang ketat (Anon., 2021).

Gambar: Joel Heard

Pada tahun 2020, pemerintah Tiongkok telah memfasilitasi pemindahan massal warga Uyghur dan etnis minoritas lainnya dari wilayah re-education camps tersebut ke pabrik-pabrik di seluruh negeri Tiongkok. Dalam kondisi yang mengindikasikan kerja paksa, masyarakat Uyghur bekerja di pabrik yang berada dalam rantai pasokan global setidaknya pada 82 perusahaan merek terkenal di sektor teknologi, pakaian, dan otomotif, termasuk Apple, BMW, Gap, Huawei, Nike, Samsung, Sony dan Volkswagen. Beberapa laporan memperkirakan bahwa lebih dari 80,000 masyarakat Uyghur telah dipindah secara paksa dari Xinjiang untuk bekerja di pabrik-pabrik di seluruh Tiongkok pada tahun 2017–2019, yang salah satunya adalah di industri tekstil kapas. Sementara, sebuah laporan yang dipublikasikan pada akhir taun 2020 lalu merilis bahwa industri tekstil kapas di XUAR telah menjadi polemik yang cukup prominen di beberapa bulan kebelakang. Hal ini dikarenakan industri kapas mempengaruhi kondisi perdagangan internasional serta sorotan kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) yang buruk yang dialami oleh masyarakat Uyghur.

Sistem labor transfers yang digaungkan oleh negara Tiongkok sendiri pun ditujukan untuk, “dengan sengaja mengurangi … kepadatan penduduk” khususnya terhadap suku etnis minoritas Uyghur. Hal ini tentu saja dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara itu, publikasi lain merujuk pada skema transfer tenaga kerja sebagai cara untuk mengurangi pengaruh agama di komunitas Uyghur dan menyalahkan kebijakan “keluarga berencana” yang bertujuan untuk mengurangi kelebihan jumlah tenaga kerja dari masyarakat Uyghur dan mendominasi daerah tersebut untuk menjadi daerah masyarakat yang lebih homogen (Roberts, 2021).

Walaupun begitu, laporan dari Universitas Nankai pun berargumen bahwa labor transfers ini ditujukan untuk mengurangi biaya tenaga kerja alih-alih mengurangi kepadatan penduduk. Namun, hal ini juga tidak menutupi kemungkinan bahwa kebijakan semacam ini dimaksudkan untuk menghindari sorotan yang negatif dari warga internasional. Karena, jika tujuan labor transfers hanya untuk memenuhi alasan untuk mengurangi biaya tenaga kerja saja, mengapa kebijakan ini hanya ditujukan kepada suku etnis Uyghur?

Zenz juga menambahkan dari estimasi 1.6 juta orang yang dikategorikan sebagai transferred laborers mempunyai resiko untuk mengalami forced labor dari pemerintah Tiongkok (Lipes, 2021). Di dalam prosesnya pun, menurut peneliti Adrian Zenz, ada unsur pemaksaan dan pengawasan yang berlebihan oleh otoritas negara. Tidak hanya itu, pekerja-pekerja ini pun dipaksa untuk memetik kapas dengan tangan di mana gaji yang dibayarkan sangatlah jauh dari setimpal dengan tenaga yang telah dikeluarkan (Zenz, 2021). Hal ini tentunya menarik banyak perhatian dari panggung internasional, terlebih karena pelanggaran HAM yang signifikan. Apalagi, dengan adanya pemaksaan birth control seperti aborsi dan sterilisasi, sangat mengindikasikan bahwa niat negara Tiongkok dalam memperlakukan kelompok etnis untuk menghapus etnis minoritas tersebut.

Hal ini juga berkorelasi dengan kampanye sistematis rekayasa sosial ulang dan genosida budaya yang telah digaungkan oleh Tiongkok yang warga minoritas ditargetkan, khususnya suku etnis Uyghur (Xu, et al., 2020). Rekayasa sosial ulang adalah upaya yang dilakukan pemerintah untuk memodifikasi perilaku sosial masyakarat dalam skala besar. Hasilnya, re-education camps ditemukan di dalam penelitian Adrian Zenz dikarenakan indikasi yang kuat terhadap perilaku yang tidak pantas terhadap masyarakat Uyghur seperti indikasi stress psikologis, penyiksaan, dan pemerkosaan sistematis (Zenz, 2021). Lalu, telah ditemukan juga bahwa Tiongkok menggunakan tenaga kerja paksa Uyghur di dalam skema pemerintah transfer tenaga kerja yang mengontaminasi rantai pasokan industri tekstil kapas global; temuan ini memiliki implikasi yang jauh lebih luas, di mana 20% kapas sebagai bahan baku di rantai pasokan global datang dari XUAR (Zenz, 2021). Penggunaan kerja paksa di industri kapas menciptakan harga kapas global yang lebih rendah yang menyebabkan efek buruk pada negara-negara pengekspor kapas. Tidak hanya itu, Beijing memboikot pedagang asing yang mengurangi penggunaan menggunakan kapas dari XUAR sebagai bahan baku memperparah harga kapas sebagai komoditas global (Xu, et al., 2020).

Gambar: Miko Guziuk

Sejalan dengan agenda Presiden Joe Biden dalam mengakhiri masalah kerja paksa (Agencies, 2021), Amerika Serikat gencar untuk membawa isu ini ke meja World Trade Organization (WTO) dan pertemuan G7 (Anon., 2021) untuk memberikan penalti seperti melarang produk impor dari XUAR. Hal ini akan berdampak cukup besar terhadap Tiongkok dikarenakan posisi negara tersebut membawa banyak keuntungan dari WTO yang menjadi katalisator untuk pertumbuhan ekonominya yang pesat dalam dua dekade terakhir. Oleh karena itu, membawa isu ini di dalam agenda WTO akan sangat berdampak signifikan untuk Tiongkok dalam menekankan betapa problematisnya masalah kerja paksa di XUAR (Shea, 2021).

Dengan lebih menekan pemerintah Tiongkok melalui pertemuan WTO, pemerintah tersebut harus menegakkan dan meningkatkan urgensi hak budaya dan tenaga kerja dalam konstitusi dan hukum domestik Tiongkok. Selain itu, penawanan terhadap masyarakat Uyghur harus dilarang dan juga memastikan kondisi kehidupan minoritas Muslim di Xinjiang. Lalu, menyerahkan laporan berkala kepada audit sosial independen dan inspeksi terkait dengan perilaku HAM mengenai buruh pabrik di Tiongkok akan dapat membantu menegakkan kekerasan HAM di XUAR.

Rekomendasi tersebut telah dianjurkan oleh dunia internasional yang gencar untuk mengutuk kejahatan pemerintah Tiongkok. Seperti the UN High Commissioner for Human Rights Michelle Bachelet yang sudah meminta pemerintah Tiongkok untuk mengizinkan timnya melakukan penilaian independen atas laporan penghilangan paksa dan penahanan etnis Uyghur. Lalu, perwakilan Jerman di konferensi UN General Assembly, dan atas nama 39 negara lainnya, menyerukan Tiongkok untuk memberikan akses kepada pengamat independen tersebut agar bisa diberikan kewenangan untuk melakukan investigasi. Sementara Kanada, Britania Raya, dan Amerika Serikat telah melarang produk yang berasal dari kerja paksa Uyghur memasuki negara mereka. Pada Januari lalu, pemerintah Amerika Serikat juga mendeklarasikan perlakuan pemerintah Tiongkok terhadap penduduk Uyghur sebagai genosida, yang didukung oleh Kanada dan Belanda dengan meloloskan mosi tersebut di majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (Protect, 2021).

Oleh karena itu, cara pemerintah memperlakukan kelompok etnis ini pada akhirnya masuk dalam parameter framework Responsibility to Protect (R2P). Dalam definisinya, R2P adalah sebuah komitmen kolektif berskala internasional yang berbasis norma-norma dan prinsip hukum humaniter internasional untuk mengatasi masalah kejahatan kekejaman massal dan pelanggaran hak asasi manusia yang mencakup genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Meskipun penyelidikan internasional dianggap sebagai tindakan; kebijakan internasional seperti ini dapat menjadi efektif, bahkan untuk negara yang memiliki kekuatan prominen di komunitas internasional sekalipun.

Namun, banyak yang berpendapat bahwa karena hak veto yang dipegang oleh Tiongkok di majelis PBB akan mempengaruhi efisiensi R2P dalam memerangi kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut. Tetapi, penting juga untuk dicatat bahwa walaupun Tiongkok memegang kendali yang cukup besar berkat hak veto tersebut, hal ini tidak membuat Tiongkok mempunyai kekuatan yang tak terbatas. Jika sorotan tersebut berjalan terus-menurus, hal ini hanya akan membuat Tiongkok menjadi negara yang penuh penyangkalan yang memicu pemerintah tersebut terlalu fokus dalam penyangkalan dan meyakinkan negara anggota PBB lainnya untuk mengabaikan kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida tersebut (Jacob, et al., 2021).

Bibliography

Agencies, 2021. South China Morning Post. [Online]
Available at: https://www.scmp.com/news/world/united-states-canada/article/3123670/tackling-uygur-forced-labour-china-priority-joe
[Accessed May 2021].

Anon., 2021. BBC News. [Online]
Available at: https://www.bbc.com/news/world-asia-china-22278037
[Accessed May 2021].

Anon., 2021. The Strait Times. [Online]
Available at: https://www.straitstimes.com/world/united-states/biden-will-push-allies-to-act-on-china-forced-labour-at-g-7
[Accessed May 2021].

Jacob, C., Gallagher, A. & Hunt, C. T., 2021. Pursuing Accountability and Protection for the Uighur and Muslim Minorities in China. Global Responsibility to Protect, 13(1), pp. 5–8.

Lipes, J., 2021. Radio Free Asia. [Online]
Available at: https://www.rfa.org/english/news/uyghur/labor-03042021181945.html
[Accessed May 2021].

Protect, G. C. f. t. R. t., 2021. Global Centre for the Responsibility to Protect. [Online]
Available at: https://www.globalr2p.org/countries/china/
[Accessed May 2021].

Roberts, S. R., 2021. Foreign Affairs. [Online]
Available at: https://www.foreignaffairs.com/articles/china/2021-02-10/roots-cultural-genocide-xinjiang
[Accessed May 2021].

Shea, D., 2021. Centre for Strategic & International Policies. [Online]
Available at: https://www.csis.org/analysis/wto-can-help-shine-spotlight-forced-labor-practices-xinjiangs-cotton-industry
[Accessed May 2021].

Xu, V. X. et al., 2020. Uyghurs for sale, s.l.: Australian Strategic Policy Institute.

Zenz, A., 2021. Newlines Institute for Strategy and Policy. [Online]
Available at: https://newlinesinstitute.org/china/coercive-labor-in-xinjiang-labor-transfer-and-the-mobilization-of-ethnic-minorities-to-pick-cotton/
[Accessed May 2021].

--

--

ARJUNA Research
ARJUNA Research

Written by ARJUNA Research

Akun resmi Association of Researchers on Justice for the Marginal Group (ARJUNA).

No responses yet