Antisipasi Lonjakan Kehamilan Pasca Pandemi: Sebuah Urgensi Akan Kontrasepsi?

Oleh Stephanie Dame Augustine

ARJUNA Research
9 min readJan 6, 2021

Avoiding pregnancies is not an absolute evil

Pope Francis

Sebagai suatu krisis kesehatan, eksistensi suatu pandemi mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia. Ketidakpastian dan perubahan tiba-tiba menjadi faktor yang mempengaruhi keputusan-keputusan individu dan rumah tangga, termasuk keputusan perencanaan keluarga. Akumulasi keputusan perencanaan masing-masing keluarga ini pada akhirnya mempengaruhi salah satu indikator penting demografi, yaitu tingkat fertilitas.

Sumber: Andrew Seaman

Dinamika tingkat fertilitas dapat mempengaruhi kondisi masyarakat dari skala mikro hingga makro. Dalam skala mikro, tingkat fertilitas dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan anak. Tingkat fertilitas tinggi cenderung memiliki efek negatif yang ditunjukkan melalui peningkatan angka kematian ibu dan anak (Urbina-Fuentes dan Echánove-Fernández, 1989). Terlebih, dalam skala makro, Casterline (2010) menjelaskan bahwa tingkat fertilitas yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi hingga memperburuk ancaman terhadap lingkungan. Karenanya, dapat dipahami bahwa keputusan fertilitas suatu merupakan keputusan yang krusial.

The Microeconomic Theory of Fertility

Dalam bukunya, Todaro dan Smith (2014) menjelaskan bahwa keputusan fertilitas suatu rumah tangga dapat dianalisis melalui melalui teori neoklasik terkait perilaku rumah tangga dan konsumen. Teori konvensional terkait perilaku konsumen mengasumsikan bahwa individu akan selalu mencoba untuk memaksimalkan tingkat kepuasan dari setiap keputusannya. Tingkat kepuasan ini perlu dioptimalkan mengingat adanya hambatan berupa keterbatasan sumber daya.

Dalam kaitannya dengan analisis fertilitas, jumlah anak diasumsikan sebagai barang konsumsi yang memberikan tingkat kepuasan tertentu terhadap suatu rumah tangga. Selain memberikan kepuasan, kepemilikan anak juga memberikan biaya. Semakin banyak anak, maka biayanya pun akan semakin besar, tidak hanya biaya riil yang perlu diperhitungkan, biaya peluang juga merupakan komponen penting yang perlu dipertimbangkan. Di lain sisi, terdapat juga kebutuhan konsumsi rumah tangga akan barang lain seperti pangan, sandang, dan papan.

Dengan konstrain yang ada, tingkat pendapatan (Y), keputusan terkait fertilitas harus dapat memberikan tingkat kepuasan optimal bagi individu. Keputusan yang ditentukan tiap rumah tangga dapat berbeda-beda, tergantung sumber daya yang dimiliki masing-masing rumah tangga. Selain itu, biaya memiliki anak (Pc), harga barang lain (Px), serta preferensi memiliki barang lain relatif terhadap memiliki anak (tx) juga menjadi beberapa faktor penentu keputusan fertilitas rumah tangga. Secara matematis, Todaro dan Smith (2014) merangkumnya sebagai berikut.

Berdasarkan analisis ini, dapat dipahami bahwa keputusan fertilitas rumah tangga memiliki dimensi ekonomi yang kuat. Dengan asumsi pengambilan keputusan yang rasional, rumah tangga akan menentukan jumlah anak sesuai dengan preferensi, kemampuan ekonomi, dan timbal balik yang akan didapatkannya (Werding, 2013). Lantas, bagaimanakah dampak pandemi yang disertai ketidakpastian ekonomi terhadap keputusan fertilitas rumah tangga?

Dampak Pandemi terhadap Tingkat Fertilitas

Menilik data terdahulu, dapat dikatakan bahwa eksistensi pandemi mempengaruhi tingkat fertilitas di suatu negara secara berbeda-beda. Sebagai contoh, pasca wabah SARS di Hong Kong pada 2002, tingkat fertilitas cenderung meningkat. Hal yang sama juga ditemukan terjadi pasca wabah Ebola di Afrika Barat pada 2016. Kendati demikian, tingkat fertilitas cenderung menurun pasca wabah Zika di Brazil pada 2015 (lihat gambar 1).

Gambar 1 Tingkat Kelahiran, Perubahan dari Rata-Rata Musiman, dalam Persen (Sumber: The Economist, 2020)

Pada pandemi COVID-19 ini, para ahli demografi memproyeksikan perbedaan dampak pandemi terhadap tingkat fertilitas di negara maju dengan negara berkembang. Sebagian besar negara maju, seperti Amerika dan Australia misalnya, mengkhawatirkan terjadinya fenomena baby bust (Dockterman, 2020; Pupazzoni, 2020). Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan kekhawatiran akan risiko yang terasosiasi dengan kunjungan ke rumah sakit serta penurunan kepercayaan pada perekonomian. Penjelasan mengenai penurunan kepercayaan pada perekonomian ini selaras dengan hasil penelitian empiris yang dilakukan oleh Hondroyiannis di 24 negara Eropa. Dalam publikasinya, Ia menjelaskan bahwa ketidakpastian ekonomi dan kerentanan pasar tenaga kerja berdampak negatif secara signifikan terhadap tingkat fertilitas di suatu negara (Hondroyiannis, 2009). Jika benar terjadi, fenomena baby bust ini akan mempercepat proses penuaan dan penurunan populasi di negara-negara maju.

Sumber: Tucker Good

Di lain sisi, sebagian besar negara berkembang, seperti India dan Filipina misalnya, mengkhawatirkan terjadinya fenomena baby boom (Haq, 2020; Yap, 2020). Hal ini disebabkan oleh penurunan akses terhadap alat kontrasepsi. Penjelasan ini selaras dengan hasil studi empiris Bongaarts (2017) di daerah Sub-Sahara Afrika yang menunjukkan adanya korelasi negatif yang signifikan antara prevalensi kontrasepsi dengan tingkat fertilitas total di suatu negara. Beriringan dengan pertumbuhan populasi yang masih tinggi, kenaikan tingkat fertilitas ini dikhawatirkan akan memperparah tantangan dalam produksi pangan, pengangguran, kemiskinan, dan kesehatan masyarakat sehingga dalam jangka panjang, menghambat pertumbuhan ekonomi (Aassve et al., 2020).

Studi Kasus di Indonesia

Selaras dengan negara-negara berkembang lainnya, pemerintah Indonesia pun mengkhawatirkan terjadinya fenomena baby boom. Menurut Wongkaren (2020), eksistensi wabah COVID-19 di Indonesia yang disertai pemberlakuan kebijakan social distancing berpotensi mempengaruhi tingkat fertilitas melalui dua cara. Pertama, melalui kemungkinan peningkatan frekuensi hubungan seksual antara suami dan istri. Kedua, melalui penurunan akses ke alat kontrasepsi.

Menurut data BKKBN, hasil pelayanan program keluarga berencana (KB) pada Februari hingga Maret 2020 telah menurun sebesar 35 persen (Listyawardani, 2020). Terlebih lagi, data terbaru dari BKKBN menunjukkan bahwa jumlah jumlah peserta program keluarga berencana (KB) telah turun lebih dari satu juta sejak Januari hingga April 2020 (Fachriansyah, 2020).

Sumber: Dainis Graveris

Selama ini, kegiatan penyuluhan dan pelayanan KB sangat bergantung pada interaksi people-to-people. Hal ini tercermin dalam data BKKBN yang menunjukkan bahwa jenis kontrasepsi yang paling banyak digunakan oleh penduduk Indonesia adalah jenis suntik yang memerlukan bantuan bidan atau dokter kandungan. Penerapan kebijakan social distancing yang diiringi peningkatan kekhawatiran masyarakat untuk terinfeksi virus Corona mengakibatkan pelayanan kontrasepsi ini menjadi cukup terhambat. Selain itu, tutupnya banyak klinik saat pandemi karena belum sepenuhnya memiliki sarana yang diperlukan untuk mencegah penularan COVID-19 juga mempersulit akses masyarakat terhadap kontrasepsi (Anna, 2020).

Penurunan akses kontrasepsi selama pandemi ini diproyeksikan akan menimbulkan lonjakan jumlah kelahiran di Indonesia. Proyeksi BKKBN menunjukkan bahwa akan ada lebih dari 400.000 kehamilan tak direncanakan di Indonesia. Dengan penambahan angka kehamilan tersebut, diperkirakan bahwa akan ada lebih dari 420.000 bayi baru lahir di awal tahun depan. Perkiraan ini didasarkan pada asumsi 10 persen dari 28 juta keluarga mengalami kesulitan dalam mengontrol kelahiran (Putri, 2020).

Risiko Kehamilan yang Tidak Direncanakan di Masa Pandemi

Kehamilan yang tidak direncanakan (unintended pregnancy) dapat dipahami sebagai kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted) maupun kehamilan yang tidak tepat waktu (mistimed) (CDC, 2019). Jika terjadi, kehamilan yang tidak direncanakan dapat memberikan dampak buruk tidak hanya bagi sang ibu, tetapi juga bagi calon anak.

Dalam kaitannya dengan sang ibu, hasil studi Bahk et al. (2015) di Korea menunjukkan bahwa kehamilan yang tidak direncanakan berkorelasi secara positif dan signifikan dengan maternal depression dan parenting stress. Selain itu, ibu yang mengalami kehamilan yang tidak direncanakan lebih cenderung mengalami masalah terkait kehamilan dan perawatan antenatal yang tertunda (Rahmadi dan Ocviyanti, 2020).

Sumber: Vincent Ghilione

Tanpa ada perencanaan kehamilan yang baik, masalah stunting pada anak bisa menjadi salah satu resiko yang paling mungkin dihadapi. Stunting sendiri merupakan kondisi dimana balita memiliki tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur (kerdil). Stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, hingga kurangnya asupan gizi pada bayi. Dalam jangka pendek, stunting dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan serta peningkatan biaya kesehatan anak. Dalam jangka Panjang, stunting dapat mengakibatkan peningkatan risiko penyakit, berkurangnya kapasitas belajar, hingga penurunan produktivitas kerja (Kementerian Kesehatan, 2018). Lebih lanjut, hasil studi tinjauan sistematis Maribeth dan Syafiq (2018) di Indonesia, Bangladesh, Nepal, India, dan Malawi Utara menunjukkan bahwa keadaan kehamilan yang tidak diinginkan dapat menjadi penyebab terjadinya stunting 1,25–2,19 kali lebih tinggi dibandingkan kehamilan yang diinginkan.

Dalam kaitannya dengan kondisi pandemi COVID-19, peningkatan prevalensi stunting dapat disebabkan oleh penurunan tingkat perekonomian banyak rumah tangga. Selaras dengan hal tersebut, hasil survei Wahana Visi Indonesia periode 12–18 Mei 2020 terhadap 900 rumah tangga menunjukkan bahwa mata pencaharian 9 dari 10 responden rumah tangga terdampak COVID-19. Bahkan, 7 dari 10 diantaranya terdampak parah (Jayani, 2020). Atas dasar risiko-risiko ini, pemerintah melalui BKKBN pun menganjurkan masyarakat untuk menunda kehamilan di masa pandemi COVID-19 (CNN Indonesia, 2020).

Kesimpulan dan Rekomendasi

Eksistensi pandemi COVID-19 dengan kebijakan social distancing telah menurunkan akses kontrasepsi masyarakat Indonesia. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan lonjakan kehamilan yang tidak direncanakan. Kehamilan yang tidak direncanakan sendiri cenderung memberikan dampak buruk tak hanya bagi sang ibu, tetapi juga bagi sang calon anak. Maka dari itu, upaya-upaya peningkatan akses kontrasepsi sangat dibutuhkan untuk mencegah lonjakan kehamilan yang tidak diinginkan selama pandemi.

Menurut WHO (2020), terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan akses kontrasepsi dan akses layanan dan informasi terkait perencanaan keluarga. Pertama, pemerintah perlu memanfaatkan penggunaan ponsel dan teknologi digital untuk membantu masyarakat membuat keputusan tentang metode kontrasepsi yang akan digunakan dan bagaimana cara mengaksesnya. Kedua, pemerintah perlu memastikan ketersediaan post-coital contraception, termasuk mempertimbangkan penyediaan kontrasepsi yang dijual bebas. Ketiga, pemerintah perlu memungkinkan akses kontrasepsi bagi perempuan pada periode pasca melahirkan, Ketika mereka mengakses layanan Kesehatan.

Referensi

Aassve, A., Cavalli, N., Mencarini, L., Plach, S., & Bacci, M. L. (2020). The COVID-19 pandemic and human fertility. ​Science,​ ​369(​ 6502), 370–371.

Anna, Lusia Kus. (2020). Penggunaan Kontrasepsi Turun Drastis Selama Pandemi. Diakses pada 16 Oktober 2020 melalui Kompas.com: https://lifestyle.kompas.com/read/2020/06/12/203738420/penggunaan-kontrasepsi-turun-drastis-selama-pandemi?page=all

Bahk, J., Yun, S. C., Kim, Y. M., & Khang, Y. H. (2015). Impact of unintended pregnancy on maternal mental health: a causal analysis using follow up data of the Panel Study on Korean Children (PSKC). BMC pregnancy and childbirth, 15(1), 85.

Bongaarts, J. (2017). The effect of contraception on fertility: Is sub-Saharan Africa different?. Demographic Research, 37, 129–146.

CDC. (2019). Unintended Pregnancy. Diakses pada 7 November 2020 melalui https://www.cdc.gov/reproductivehealth/contraception/unintendedpregnancy/index.htm

CNN Indonesia. (2020). BKKBN: Tunda Kehamilan di Masa Pandemi. Diakses pada 7 November 2020 melalui https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200924184709-255-550638/bkkbn-tunda-kehamilan-di-masa-pandemi

Casterline, J. B. (2010). Determinants and consequences of high fertility: a synopsis of the evidence-portfolio review (№63069, pp. 1–36). The World Bank.

Dockterman, Eliana. (2020). Women are Deciding Not to Have Babies Because of the Pandemic. That’s Bad for All of Us. Diakses pada 18 Oktober 2020 melalui https://time.com/5892749/covid-19-baby-bust/

Fachriansyah, Rizki. Experst Foresee Spike in Pregnancies, Call for Accessible Birth Control Means. Diakses pada 23 Oktober 2020 melalui https://www.thejakartapost.com/news/2020/06/11/experts-foresee-spike-in-pregnancies-call-for-accessible-birth-control-means.html

Haq, Zia. (2020). UN Expects a Global Baby Boom Led by India due to Covid-19 Lockdowns. Diakses pada 18 Oktober 2020 melalui https://www.hindustantimes.com/india-news/un-expects-a-global-baby-boom-led-by-india-due-to-covid-19-lockdowns/story-uAQHkgyv3J9zNuBQG7cYWJ.html

Hondroyiannis, G. (2010). Fertility determinants and economic uncertainty: An assessment using European panel data. ​Journal of Family and Economic Issues,​ ​31(​ 1), 33–50.

Jayani, Dwi Hadya. (2020). Gizi Anak Indonesia Berpotensi Memburuk saat Pandemi Covid-19. Diakses pada 7 November 2020 melalui https://katadata.co.id/muhammadridhoi/analisisdata/5f6c0f86a5911/gizi-anak-indonesia-berpotensi-memburuk-saat-pandemi-covid-19

Kementerian Kesehatan. (2018). Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, ISSN 2088–270 X

Listyawardani, Dwi. (2020). Kebijakan Ketersediaan dan Supply Alat Kontrasepsi di Masa Pandemi Covid-19. Diakses pada 16 Oktober 2020 melalui https://www.ibi.or.id/media/Webinar%20IDM%202020/IDM%202020%20BKKBN.pdf

Maribeth, A. L., & Syafiq, A. (2018). The Association of Unintended Pregnancy With Stunting on Children Under Five Years Old: A Systematic Review. In Proceedings of the International Conference on Applied Science and Health International Conference on Applied Science and Health (ICASH).

Pupazzoni, Rachel. (2020). Coronavirus Pandemic Baby Boom or Bust? History and Economics Offer Answers. Diakses pada 18 Oktober 2020 melalui https://www.abc.net.au/news/2020-08-19/coronavirus-baby-boom-or-bust/12570902

Rahmadi, I., & Ocviyanti, D. (2020). Unintended pregnancy in unmarried women in Indonesia. In Obstetric and Gynecology Case Report (pp. 21–27). Nova Science Publishers, Inc.

Urbina-Fuentes, M., & Echánove-Fernández, E. (1989). Fecundidad y salud en México [Fertility and health in Mexico]. Salud publica de Mexico, 31(2), 168–176.

The Economist. (2020). Will the Coronavirus Lockdown Lead to a Baby Boom? Diakses pada 18 Oktober 2020 melalui https://www.economist.com/graphic-detail/2020/04/03/will-the-coronavirus-lockdown-lead-to-a-baby-boom

Todaro, M., & Smith, S. (2003). Development economics. UK: Pearson education.

Yap, Cecilia. (2020). Philippines Fears Baby Boom Amid Coronavirus Pandemic. Diakses pada 1 November 2020 melalui https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-06-06/philippines-fears-baby-boom-amid-coronavirus-pandemic

Werding, M. (2014). Children are costly, but raising them may pay: The economic approach to fertility. Demographic Research, 30, 253–276.

Wongkaren, Turro Selrits. (2020). Lembaga Demografi: Atasi Ancaman Baby Boom. Diakses pada 18 Oktober 2020 melalui https://www.feb.ui.ac.id/blog/2020/05/09/lembaga-demografi-atasi-ancaman-baby-boom/

WHO. (2020). Coronavirus disease (COVID-19): Contraception and Family Planning. Diakses pada 7 November 2020 melalui https://www.who.int/news-room/q-a-detail/coronavirus-disease-covid-19-contraception-and-family-planning

--

--

ARJUNA Research
ARJUNA Research

Written by ARJUNA Research

Akun resmi Association of Researchers on Justice for the Marginal Group (ARJUNA).